Jumat, 27 November 2015

Reva dan Jojo Coffee Shop

Cerpen Karangan: 
Lolos moderasi pada: 27 November 2015
Sebelum masuk, Reva mengamati kafe itu sejenak. Tertera tulisan besar warna merah di jendela kaca besar: Jojo Coffee Shop. Segalanya tampak usang. Bangunan ruko mungil berlantai dua itu benar-benar tak terawat, kusen-kusennya rapuh dimakan rayap. Reva memasuki Kafe itu dan bel pintu pun berdenting. Ruangan itu nampak kosong, hanya ada beberapa set meja dan kursi yang tertata rapi. Mata Reva tak berhenti jelalatan memperhatikan langit-langit tinggi kafe itu, dengan beberapa lampu yang mengantung memancarkan cahaya seadanya. Dinding yang bercat putih dan hanya ada beberapa lukisan tua yang menempel, tak ada ornamen atau dekorasi yang berarti. Reva lalu menganguk-anggukkan kepala, seolah ia mengetahui sesuatu dan membuatnya mengerti.
“Selamat Pagi Rev?” Seorang laki-laki berwajah tampan dan memakai kemeja hitam tiba-tiba saja datang dari pintu di sudut ruangan.
Reva terperanjat kaget karena sesorang menyebut namanya, “Kevin? Kok kamu di sini?”
Lelaki jangkung bernama Kevin itu tersenyum lebar melihat ekspresi Reva yang setengah kaget. “Silahkan Nona duduk dulu, sebentar ya aku buatkan minum,” Kevin menggiring Reva dengan lembut ke tempat duduk lalu berjalan menuju counter.
Kevin menahan nampan di lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya meletakkan satu gelas Moccacino ke atas meja dengan hati-hati, lalu menarik bangku dan kemudian duduk dengan manis.
“Kok kamu ada di sini sih?” Ekspresi bingung masih tergambar di wajah Reva.
Kevin pun terkekeh, “Aku sih udah punya feeling kita pasti ketemu,”
“Maksud kamu?” dahi Reva makin berkerut
“Sebenarnya aku yang telepon kemarin, terus minta kamu datang ke sini,” Kevin tertawa kecil.
“Jadi ini Kafe punyamu?”
Kevin menggeleng, “Ini kafe orangtuaku,”
Reva sedikit takjub, pasalnya Reva mengenal pria tampan ini sebagai seorang pelayan di sebuah kafe yang pernah ia desain di daerah kemang, semenjak itulah Reva mengenal Kevin yang ramah walau hubungan mereka hanya sebatas pelayan dan pelanggan.
“Terus kenapa kamu kerja jadi pelayan padahal punya kafe sendiri?”
“Itu sih cuma hobi doang…” Kevin terkekeh tidak serius menjawab pertanyaan Reva.
“Iya deh..” Reva pun cemberut lalu menyesap Americano-nya.
“Jadi kamu pengen konsep desainya kayak gimana?”
“Aku serahkan semuanya ama kamu Rev, kamu bebas berekspresi,” Ucap Kevin dengan yakin.
“Ha?” Reva terperangah,
Kevin lalu menangguk dan tersenyum manis, “Aku suka semua kafe-kafe yang pernah kamu desain,”
Wajah Reva tiba-tiba tersipu dan sedikit memerah, ia pun menghabiskan sisa Americano-nya dengan cepat untuk menyembunyikan ekspresinya tersebut, “Aku juga suka semua Kopi yang pernah kamu buat,” Reva menimpali sambil tertawa. Kevin pun ikut tergelak.
Kini Jojo Coffee shop terlihat lebih baru. Desainnya serba mini malis, tapi ada aksen warna-warna hangat, seperti pintu dan kusen berwarna cokelat, poster-poster secangkir kopi yang membuat para pelanggan ingin segera memesannya. Interiornya pun tidak kalah memukau. Dari mulai pencahayaan hingga furniture, Kevin segera tahu jika ia memang tidak salah menyerahkan semuanya pada Reva. Setelah acara pembukaan Jojo Coffee Shop selesai dan para tamu satu persatu meninggalkan kafe, Kevin dan Reva duduk di dekat jendela sambil beristirahat dan sedikit merayakan kerja keras mereka selama satu bulan dengan menikmati frozen caramel moccacino lengkap dengan satu scop es krim vanila disiram dengan saus caramel yang manis. Tanpa banyak basa-basi lagi Reva langsung meneguk kopi favoritnya itu.
“Rev, kamu pasti cape. Sebaiknya kamu–” Mata Kevin tiba-tiba menatap Reva, lalu tangannya terjulur ke arah wajah Reva, dan ia menyentuh ujung bibir Reva yang terdapat sisa es krim yang menempel. Wajah Reva menjadi memanas, ia hampir menjatuhkan gelasnya begitu saja.
“Makasih,” jawab Reva gugup. Kevin tersenyum memamerkan deretan giginya yang sempurna dan penuh karismatik, membuat Reva semakin salah tingkah.
“Aku sering lihat kamu jalan ke kafe di kemang sama cowok, kok gak di ajak ke sini?” Ucap Kevin tiba-tiba.
“Ha?” Reva sedikit terkejut, “Oh… itu Ben, dia pacarku,” lanjut Reva datar.
“Oh.. pacarmu ya,” Kata Kevin datar dengan ekspresi tak biasa.
“Eh By the way… sebenarnya siapa yang memberi nama Jojo Coffee shop ini?” Tanya Reva mencoba mengganti topik.
“Kedua orangtuaku… Jojo itu artinya Johan dan Joana, diambil dari nama mereka sendiri,” Ujar Kevin.
“So sweet banget, lalu orangtuamu sekarang tinggal di mana?” Tanya Reva lagi.
“Mereka sudah tidak ada… meninggal karena kecelakaan mobil saat usiaku sepuluh tahun,” ujar Kevin diakhiri dengan segurat senyum yang dipaksakan.
“Maaf, aku turut berduka,” Ucap Reva penuh nada penyesalan.
“Gak apa, itu sebabnya aku ingin meneruskan usaha mereka sekuat tenagaku, dan itu pun alasan mengapa aku bekerja sebagai seorang pelayan,” Jelas Kevin.
Entah apa yang ada dipikiran Kevin. Ia tidak suka terlalu terbuka kepada orang lain. Tapi di depan Reva setiap kata mengalir begitu saja dari mulutnya. Kevin pun menghabiskan sisa frozen caramel moccacino, lalu menatap wajah Reva yang terlihat masih merasa bersalah.
“hari ini aku ulang tahun loh Rev…” Kevin tersenyum. Sekejap Reva pun membelalakkan mata.
“Kalau begitu kita harus rayakan,” Reva menggosokan kedua tangannya, bersemangat. Ia beranjak menuju dapur dan kembali dengan sebuah cupcake yang tertancap lilin yang agak kebesaran. Reva menyanyikan lagu, “Happy birthday,” untuk Kevin dengan bersemangat. Di penghujung nyanyian Kevin pun meniup lilin tersebut dengan perasaan bahagia.
“Makasih banyak Rev,”
“Ulang tahun ke berapa?” tanya Reva.
“Tepat kedua enam,” Kevin tersenyum simpul
“Astaga! Ternyata kita seumur,” Reva membelalak lagi.
Kevin tertawa lebar, “Kelihatan lebih muda ya?”
Mereka pun tergelak tertawa, namun tawa mereka pun berhenti ketika sebuah mobil Land Cruiser parkir di depan Jojo Cofee Shop. Si pemilik mobil itu tidak turun dari mobilnya, ia hanya menurunkan jendela mobilnya lalu membunyikan klakson. Otomatis Reva beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menyambar tasnya.
“Ben sudah menjemputku, aku pergi dulu, makasih kopinya, dan sekali lagi selamat ulang tahun,” Reva berbicara dengan terburu-buru.
Kevin memandang ke arah mobil berwarna hitam itu, sampai wanita mungil itu menaiki mobil, ia melihat pria itu memberi ciuman di pipi sebelah kanan Reva. Kevin pun berbalik badan dengan mulut terkunci dan hatinya terasa diremas.
Jam tangan Reva menunjukkan pukul 10, sudah terlalu larut untuk makan malam. Reva mengunyah french fries-nya dengan malas. Di depannya, Ben memotong-motong steak tenderloin-nya menjadi potongan kecil.
“Kamu gak harus kerja sampai malam-malam gini,” kata Ben dingin.
“Aku tidak sedang bekerja, sudah ku bilang aku hanya datang memenuhi undangan,” Dahi Reva berkerut.
“Aku kayaknya sering lihat cowok tadi yang ada di kafe itu,”
“Dia itu tadinya pelayan kafe yang sering kita datengin itu loh yang… sekarang dia punya kafe sendiri.. hebat kan.” Kata Reva dengan nada bangga.
“Aku gak peduli, Pokoknya aku gak suka!” kata Ben ketus.
“Gak perlu sewot kayak gitu, kenapa harus gak suka?” sahut Reva, lalu menatap Ben.
“Tentu saja aku sewot! Aku gak suka aja! Pokoknya kamu gak usah deket-deket lagi!” Kata Ben marah.
“Kamu tuh kayak anak kecil, larang-larang orang seenaknya. Kamu cemburu?” Tanya Reva dingin.
“Sudah ku bilang, Aku–” Ben mencoba menjelaskan.
“Cukup!” Potong Reva, Kesal. “…aku mau pulang aja,” Reva menghela napas. Ia mengelap mulutnya, mengambil tas, dan pergi meninggalkan Ben tanpa berkata apa-apa.
“Reva!” Ben berteriak. Beberapa orang pelanggan restoran itu menoleh.
Dalam lift yang membawanya turun. Reva tak berhenti menggerutu dalam hati atas sikap Ben yang seperti anak kecil. Akhir-akhir ini mereka sering bertengkar, topik pembicaraan mereka mulai tidak menarik dan membosankan. Pintu lift terbuka. Reva melangkah ke luar. Di sebelah sisi kiri lift terdapat toko yang menjual barang-barang pecah seperti gelas dan piring-piring. Reva tertarik dengan sebuah mug lucu yang dipajang di etalase tersebut. Beberapa detik kemudian ia tersenyum lebar sambil memasuki toko tersebut.
Sore itu sehabis hujan lebat, matahari kembali menampakkan dirinya dari balik awan yang kini telah berwarna cerah kembali. Kevin sedang membersihkan jendela yang basah karena cipratan air hujan, walau kini ia mempunyai dua orang karyawan baru di Kafenya tesebut.
“Kevin!” Suara yang ia kenal, nada ceria yang ia hafal.
“Hai, Rev,” Kevin tersenyum, lalu Dahi Kevin mengerut seketika, “Kamu kenapa?”
Reva terlihat basah kuyup, walau senyum mengembang di wajah Reva, namun nampak jelas seluruh tubuhnya bergetar karena kedinginan. Tanpa pikir panjang Kevin meraih lengan Reva yang mungil, dan menuntunnya memasuki kafe. Beberapa kepala menoleh menatap mereka.
“Hot Chocholate, dua ya, antar ke atas,” perintah Kevin kepada karyawan barunya itu.
Di lantai dua, Kevin memberi Reva handuk beserta kaos untuk mengganti pakainnya yang basah. Lalu Kevin kembali ke lantai dasar untuk mengambil cokelat panas.
“Kenapa bisa hujan-hujanan sih?” Tanya Kevin, sambil menaruh satu gelas cokelat panas di atas meja.
Air masih menetes dari rambut Reva, membasahi kaos Hard Rock Cafe yang terlihat kebesaran untuk tubuhnya yang mungil. Kevin pun mencoba membantu mengeringkan rambut Reva dengan handuk. Kini mereka berhadap-hadapan. Aroma parfum Caiman rouge menguar dari tubuh Kevin, sebersit perasaan aneh menyusupi hati Reva.
“Tadinya aku mau jalan ama Ben, tapi gak jadi… lalu ku putuskan untuk berjalan kaki ke kafemu…” Reva menengadah menatap wajah Kevin yang bersih dan terawat itu, lalu menghentikan tangan Kevin yang masih menggosok rambutnya dengan handuk, lalu meraih tasnya.
“Ini ada hadiah buat kamu,” Reva mengeluarkan sebuah kotak yang tebungkus kertas kado yang sedikit basah. Kevin terdiam. Kehilangan kata-kata.
“Makasih. Rev,” Ucap Kevin setengah berbisik.
Reva tersenyum kecil. Namun, dalam hitungan detik senyumannya sirna. Tiba-tiba Kevin mendekapnya, kini seluruh tubuh Reva menjadi kaku dan jantungya berdebar amat kencang seperti ingin ke luar dari rongganya. Perlahan, Kevin melepaskan rangkulannya.
“Besok aku mau adain pesta kecil-kecilan, aku pengen kamu datang,” kata Kevin dengan nada bersemangat.
Reva hanya mengangguk, hatinya masih berdentum kencang tak karuan.
Sore itu Reva merasa jengkel kepada Ben yang tak mau beranjak pulang. Hampir seharian Ben nongkrong di kosan Reva.
“Yang, kamu gak mau pulang dulu?” Reva memberanikan diri bertanya pada Ben yang sedang asyik main game di smartphone-nya.
“Kenapa emang? Kamu gak suka aku di sini ya?” Kata Ben datar.
“Bukan gitu, aku mau ke luar ada acara ke ulang tahun temen, aku takut kamu bete aja di sini sendirian,”
“Oh… mau ke mana?” Ben masih menatap layar smartphone-nya
“Ke Jojo Coffee Shop, Kevin undang aku ke ulang tahunnya,” Ucap Reva ragu-ragu.
“Oke, kalau gitu aku ikut,” Ben langsung beranjak dari sofa dan mengambil kunci mobilnya di meja.
Sial! Reva merasa upaya mengusir Ben dari kosan itu gagal, dan fatalnya Ben memutuskan ikut dengan Reva ke Jojo Coffee Shop.
“Bukannya kamu gak suka sama dia?” Tanya Reva spontan.
“Karena kamu marah kemaren lusa. So, aku nyoba ngertiin kamu, daripada berantem kayak kemaren aku mending ikut,” Ben tersenyum tipis.
Sekejap fantasi Reva porak poranda ia hanya bisa mengunci mulutnya rapat-rapat menyembunyikan rasa kesalnya. Ia tak ingin Ben mencurigai dirinya.
“Oke, terserah kamu aja,” Reva mencoba merespon setenang mungkin
Sesampainyanya di Jojo Coffee Shop, Reva turun dari mobil Ben dengan sedikit semangat. Dengan adanya Ben di sisinya, ruang gerak Reva mendekati Kevin akan terbatas. Ben akan selalu memperhatikan gerak-geriknya dan akan membuat Reva tidak nyaman.
Jojo Coffee shop nampak ramai dengan dentuman musik Dj yang menggema, semua bangku hampir terisi dan didominasi oleh tamu laki-laki, di belakang counter berdiri Kevin mengenakan kemeja dengan lengan tergulung dan sangat pas di badannya yang bidang, rambutnya tertata rapi dan aroma tubuh yang wangi. Kevin memamerkan senyum lebar ke arah Reva yang baru datang, dan menghampiri Reva dan Ben. Kevin menyalami Ben dengan sangat sopan dan santun serta mempersilahkan mereka duduk.
“Mau minum kopi apa Ben dan Reva?” Kata Kevin dengan antusias.
“Espresso Macchiato saja dua,” Kata Ben singkat. Reva melihat ekspresi Ben yang seperti tidak nyaman duduk berlama-lama di sini.
“Aku gak suka cara dia natap..” kata Ben tiba-tiba. “…Aku udah curiga dari dulu sama dia, makanya aku bilang gak suka. Aku gak nyaman…” Ben berbicara setengah berbisik, membuat Reva harus mencondongkan kepala ke arah Ben.
“Temen kamu itu kayaknya Gay!”
“He?” Reva terkejut mendengarnya. “Jangan sembarangan, kalau cemburu gak usah ngarang gitu,” timpal Reva dengan ketus.
“Coba kamu perhatiin aja mereka,” Kata Ben kesal sambil menujuk ke arah para tamu yang lain.
Reva memandang ke sekitar ruangan Kafe dan memperhatikan tamu-tamu yang datang. Terbersit perasaan aneh, ada atmosfir yang berbeda yang Reva tidak pernah rasakan sebelumnya, ia merasa asing. Hampir semua tamunya laki-laki dan berpasang-pasangan. Gerak gerik mereka terlihat aneh dan membuat tidak nyaman. Kevin datang dengan nampan berisi dua gelas Espresso Macchiato dan dua piring Chesee Cake, ia menaruh di meja dengan hati-hati dengan wajah mengembangkan senyum lebar.
“Silahkan diminum,” Kevin mempersilahkan Ben untuk meminumnya dengan nada riang, sementara tangannya mengelus-elus bahu Ben.
Tenggorokan Reva pun tercekat.
The End
Cerpen Karangan: Eka Suzie
Facebook: Eka Suzie
Twiter: @eksuz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar